Jumat, 09 Maret 2012

Feed Ingredients



Secara umum telah dikenal pengertian pakan berdasarkan asalnya (nabati dan hewani), berdasarkan sifatnya (hijauan dan konsentrat) dan berdasarkan sumber zat gizinya (sumber protein, mineral, energi). Namun secara internasional bahan pakan dibagi dalam 8 kelas, yaitu:
1. Pakan  kasar (roughage), adalah bahan pakan yang banyak mengandung serat kasar (lebih dari 18%) dan rendah energinya. Contoh: jerami (jerami dari padi, jagung, pucuk tebu), hijauan kering dll.
2. Hijauan segar (green forage, pasture). Contoh: rumput/hijauan segar lainnya yang baru dipotong, padang rumput dll.
3. Silase (silage) adalah hijauan yang sengaja diawetkan melalui proses fermentasi secara tanpa udara/oksigen (anaerob) dalam suatu tempat yang disebut silo.
4. Sumber energi adalah pakan yang banyak mengandung energi (kandungan energi lebih dari 2250 Kkal/kg). Contoh: butir- butiran (jagung, sorghum/cantel, kedele, kacang dll), umbi- umbian (ketela pohon, ketela rambat, kentang dll.), minyak (kelapa, sawit, kedele dll.), lemak hewan (tallow), hasil samping industri pertanian (bekatul, pollard, tetes dll.).
5. Sumber protein adalah pakan yang mengandung protein lebih dari 20%. Contoh: umumnya pakan asal hewani (tepung ikan, tepung daging, susu skim, tepung darah dll.), kacang- kacangan/leguminosa (kacang tanah, kedele, turi, gamal, lamtoro dll.); bungkil (bungkil dari kelapa; kelapa sawit; kedele; kacang; kapok; kapas; jagung dll).
6. Sumber mineral. Contoh: tepung tulang, kerang, kapur dicaphos (dicalcium phosphate), tricaphos (tricalcium phosphate) garam dll.
7. Sumber vitamin. Contoh: buah-buahan, tauge, hijauan kacang kacangan, wortel dll
8. Bahan additive adalah bahan yang perlu ditambahkan dala jumlah relatif sedikit yang kadangkala diperlukan untu melengkap mix.
Dalam pemilihan bahan pakan atau ransum sebaiknya memperhatikan beberapa persyaratan/pertimbangan antara lain: a) bahan itu mudah didapat, b) murah harganya, c) tidak bersaing penggunaannya dengan manusia, d) tidak beracun, e) mengandung zat pakan yang sesuai dengan tujuan beternak.
Beberapa bahan pakan mengandung zat anti-nutrisi yang dapat bersifat toksik (racun) bagi ternak, misalnya: ketela pohon (asam sianida mengakibatkan gangguan metabolisme); lamtoro (mimosine); turi (asam sianida); bayam (asam oksalat); daun wortel (carota toxin); daun kol (asam oksalat); rumput setaria (asam oksalat); Oleh biji sorghum itu (tannin); bungkil biji kapok ransum (asam perlu siklopropenoat); bungkil biji kapas (gosipol); bungkil jarak (risin). Sebab penggunaannya dalam dipertimbangkan sampai batas tertentu, dan dikaitkan dengan tujuan beternak.

Sumber : Prof. Dr. Ir. Sunarso, MS dan Ir. M. Christiyanto, MP

Rabu, 07 Maret 2012

A.S.U (Air Susu Unta)

Jakarta, Sebagian besar masyarakat mungkin belum terlalu familiar dengan susu unta. Tapi ternyata susu ini memiliki banyak manfaat bagi tubuh serta memiliki kandungan gizi yang lebih baik sehingga dikenal sebagai 'superfood'.

Susu unta selama ini dikonsumsi secara luas di hampir seluruh negara Arab, susu ini memiliki rasa yang sedikit lebih asin dibandingkan susu lainnya dan seringkali diproduksi sebagai keju.

Organisasi PBB yang menangani masalah pangan (Food and Agriculture Organisation/FAO) menuturkan susu unta diketahui kaya akan vitamin B, C dan memiliki kandungan zat besi 10 kali lebih banyak dibanding dengan susu sapi.

Selain kandungan mineral dan vitaminnya yang tinggi, penelitian telah menunjukkan bahwa antibodi yang terkandung dalam susu unta diduga bisa membantu melawan penyakit kanker, HIV, AIDS, Alzheimer dan hepatitis C.
"Susu unta bisa menjadi tambahan pangan yang berguna karena mengandung kalsium dan vitamin B serta memiliki kadar lemak jenuh yang lebih sedikit dibanding susu sapi," ujar juru bicara dari British Nutrition Foundation, seperti dikutip dari BBCNews, Selasa (31/5/2011).

Kelebihan lain dari susu unta adalah tidak mengandung dua alergen kuat yang selama ini ditemukan dalam susu sapi, serta memiliki komponen sistem kekebalan tubuh yang mungkin memberikan manfaat bagi anak-anak yang alergi terhadap susu dan makanan lain.

Komponen sistem kekebalan yang potensial dalam susu unta diperkirakan bisa membantu memerangi beberapa penyakit. Para peneliti menduga ukuran kecil dari imunoglobulin atau antibodi yang ditemukan dalam susu unta memungkinnya untuk lebih mudah menargetkan zat asing penyebab penyakit (antigen) yang merusak sistem kekebalan tubuh seseorang.

Dr Reuven Yagil, seorang ahli fisiologi dari Israel yang melakukan penelitian selama 5 tahun menuturkan susu unta ini bisa mengatasi gangguan autoimun yang menekan sistem kekebalan tubuh seseorang.

Tapi masih diperlukan penelitian lebih lanjut lagi, karena bukti ilmiah yang ada saat ini belum cukup untuk membuktikan efektivitas dari susu unta dalam pengobatan penyakit autoim
(ver/ir)

Sumber : Vera Farah Bararah - detikHealth

Senin, 05 Maret 2012

Istilah Bidang Perunggasan

Poultry/Unggas:
Hewan kelas aves yang telah didomestikasikan yang mampu memberikan nilai ekonomis dalam bentuk barang atau jasa untuk kesejahteraan manusia serta perkembangbiakannya dikelola oleh manusia.
Poultry Science:
Ilmu pengetahuan baik berupa prinsip atau praktis tentang unggas serta tentang reproduksi, produksi dan pemasarannya.

DOC:
Day old chick atau anak ayam umur sehari, juga dinamakan kuri atau kuthuk umur sehari.
Ayam Broiler:
Ayam penghasil daging dengan umur pemeliharaan sampai panen cukup singkat sekitar 35 hari.
Ayam Layer:
Ayam petelur yang dipelihara hingga umur sekitar 75 minggu dengan masa produksi sekitar umur 20-75 minggu.

HDA (Hen Day Average):
Persentase perbandingan jumlah produksi telur dengan populasi ayam dalam satu kelompok pada satuan waktu tertentu.

FI (Feed Intake):
Jumlah pakan yang dihabiskan oleh ayam atau unggas pada periode waktu tertentu.
FCR (Feed Conversion Ratio):
Perbandingan jumlah pakan yang dihabiskan dengan kenaikan berat badan pada waktu dan satuan berat yang sama.

Efisiensi Pakan:
Besarnya bagian pakan yang dapat diubah menjadi produk daging atau telur yang dinyatakan dalam persen.

Class:
Standar klasifikasi ayam berdasarkan daerah asal usul geografis yang memberikan variasi perbedaan bentuk dan sifat karaktersitikdari ayam tersebut. Contoh ayam asia, amerika. 

Bangsa/Breed:
Klasifikasi ayam berdasarkan bentuk morfologhi dan besar tubuh yang sama dari setiap klas, contoh ayam brahma.

Strain:
Klasifikasi ayam berdasarkan garis keturunan tertentu melalui persilangan dari berbagai klas, bangsa atau varietas sehingga ayam tersebut memiliki bentuk, sifat dan tipe produksi tertentu sesuai dengan tujuan produksi.

Karkas Unggas:
Hasil pemotongan unggas tanpa disertai bagian darah, bulu, kepala, cakar, usus, giblet (hati jantung empedal), tetapi paru-paru termasuk di dalam bagian karkas.

Albumin:
Putih telur kaya protein yang dihasilkan oleh magnum.

Yolk:
Bagian telur paling dalam yang mengandung lemak, trigliserida, glukosa, mineral dan karotin.
Oviduk:
Saluran reproduksi ayam betina yang terdiri dari infundibulum, magnum, istmus, uterus, dan vagina.

Ovarium:
Alat reproduksi ayam betina yang menghasilkan ovum.

Ovulasi:
Adalah peristiwa keluarnya ovum (yolk) dari folikel setelah robek pada bagian stigma oleh pengaruh hormone LH, ovum yang terlepas kemudian akan ditangkap oleh infundibulum.

Oviposition:
Peristiwa keluarnya telur dari kloaka karena pengaruh hormone oksitosin.

Molting:
Adalah peristiwa rontoknya bulu secara alamiahdan beraturan. Molting yang dipaksakan disebut force molting yang bertujuan untuk mengatur produksi telur.

Plumping:
Penyerapan air dan mineral saat mulai terbentuknya kerabang tipis yang terjadi di istmus.

Brodinnes:
Adalah usaha ayam mengerami telurnya setelah bertelur pada periode tertentu dan dipengaruhi oleh hormone prolaktin.

Sumber : Slamet Riyadi

Jumat, 02 Maret 2012

Suparto: Sarjana Pulang Kampung

Intisari-Online.com - Orang desa jadi sarjana tidak luar biasa. Tapi sarjana asal desa yang pulang kampung dan sukses membangun desanya bisa dibilang langka. Suparto, dokter hewan asal Lamongan, Jawa Timur, salah satunya. Dengan ilmu yang ia peroleh dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, ia mengubah desanya yang miskin menjadi desa peternakan yang makmur.
Seperti kebanyakan pemuda asal kampung, Suparto menyelesaikan pendidikannya dalam kondisi ekonomi sulit. Orangtuanya hanya buruh tani dan buruh ternak di Desa Gunungrejo, Kedungpring, Lamongan. Kebanyakan pemuda kampung seusianya hanya berijazah SD, paling tinggi SMA. Untuk membiayai pendidikannya di SMA, ia mencari uang sendiri dengan berjualan roti keliling.
Waktu kuliah, ia berjualan pakan ternak. Maka begitu lulus kuliah, ia bisa merasakan betapa gelar sarjana memang masih sangat mahal bagi kebanyakan orang seperti dirinya.
Menyandang predikat lulusan terbaik tingkat fakultas tahun 2000, ia sempat bekerja di perusahaan peternakan Charoen Pokphand Indonesia. Tapi ia membatasi diri bekerja sebagai pegawai hanya untuk mencari modal dan pengalaman nyata usaha peternakan. Setahun bekerja di sana, ia kemudian mengundurkan diri untuk kembali ke desanya. Keputusan ini berlawanan dengan kebanyakan kawan-kawannya yang lebih memilih bekerja sebagai pegawai perusahaan.
Dengan modal Rp 25 juta yang ia sisihkan dari gaji selama setahun, ia memulai usaha peternakan ayam petelur di desanya tahun 2001. Tak mudah memulai usaha ini. Bukan karena ia malu berkalang kotoran ternak, tapi karena ia harus menerima kenyataan dicemooh warga desa yang ia ingin bangun, "Jauh-jauh kuliah ke Surabaya dengan biaya jutaan rupiah kok malah pulang ke desa memelihara ayam." Keluarganya bahkan sempat malu dengan keputusannya keluar dari pekerjaannya untuk pulang ke desa. "Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau hanya untuk beternak ayam di desa," kata mereka.
Tapi ia bersikukuh dengan pendiriannya. Ejekan orang kampung itu ia anggap sebagai tantangan untuk membuktikan bahwa pilihannya memang tidak salah. "Saya ingin membuktikan bahwa peternakan itu berbeda kalau dikelola oleh orang yang punya ilmunya," katanya. Dengan kerja keras, ia berhasil membuktikan itu. Dalam tempo satu tahun, ia sudah bisa menunjukkan bahwa usaha ternak ayam bisa menghasilkan banyak keuntungan.
Tahun 2002, warga desa mulai melirik usaha ini. Suparto lalu mengajari mereka cara beternak sekaligus menampung dan menjual produksi telur lewat sistem koperasi. Ia bertindak sebagai konsultan tanpa bayaran bagi para warga peternak yang kemudian ia beri nama Kelompok Tani Ternak Gunungrejo Makmur.
Yang lucu, mereka yang awalnya mencemooh usaha itu, akhirnya malah ikut bergabung karena memang usaha itu terbukti bisa memberikan penghasilan cukup banyak. Tahun 2008, jumlah populasi ayam petelur di kampungnya mencapai 150 ribu ekor dengan anggota kelompok sekitar 100-an orang.
Di tahun 2008 itu, ketika usaha ternak ayam makin maju, Suparto memperoleh informasi program Sarjana Membangun Desa (SMD) yang diadakan oleh Ditjen Peternakan, Kementerian Pertanian. Dengan modal pengalaman sebagai peternak ayam yang berhasil, ia mengikuti seleksi SMD.
Setelah dinyatakan lolos, ia memperoleh hibah bersyarat dari Ditjen Peternakan sebesar Rp 363 juta untuk mengembangkan kelompok ternak sapi potong di desanya. Dengan modal awal 37 ekor sapi, ia mengajak para warga desa yang biasanya menjadi buruh ternak untuk bergabung dalam Kelompok Tani Ternak Gunungrejo Makmur II.
Dikenalkan pada teknologi
Sebelum adanya kelompok itu, kebanyakan warga desa biasanya menjadi buruh ternak dengan sistem "gado". Mereka memelihara beberapa ekor sapi milik juragan. Sebagai imbal baliknya, mereka mendapatkan bagi hasil sebesar 50% dari harga jual sapi. Dengan sistem baru di kelompok Gunungrejo Makmur II, mereka memperoleh bagi hasil lebih tinggi, yakni sebesar 70%.
Dalam sistem gado, mereka biasanya hanya memperoleh penghasilan rata-rata Rp 200.000/bulan. Tapi sejak bergabung dengan kelompok binaan itu, mereka bisa memperoleh penghasilan rata-rata Rp 1 juta sebulan. Ini jelas peningkatan penghasilan yang signifikan bagi orang-orang kampung yang tak punya modal sama sekali. Apalagi mereka juga masih bisa melakukan pekerjaan lain selain beternak.
Lewat program SMD ini Suparto bertindak sebagai pembimbing, mulai dari hulu sampai hilir. Mulai dari cara memelihara sapi sampai menjualnya. Secara tradisional biasanya warga desa menjual sapi ke blantik (makelar). Cara penjualan seperti ini masih jamak kita temui di desa-desa. Lewat kelompok Gunungrejo Makmur II, mereka menjual sapi langsung ke Rumah Potong Hewan (RPH), tidak lagi lewat makelar. Karena rantai penjualan diperpendek, keuntungan mereka pun otomatis lebih besar.
Dulu mereka tidak pernah berpikir untuk memanfaatkan limbah ternak seperti urine dan kotoran sapi. Setelah mengenal teknologi yang dibawa oleh Suparto, mereka kini bisa mengubah urine sapi menjadi pupuk cair serta memanfaatkan kotoran sapi sebagai sumber biogas dan kompos.
Sebelum mengenal teknologi peternakan, mereka membakar begitu saja jerami sisa panen padi. Kalaupun digunakan untuk pakan sapi, jerami itu biasanya hanya dikeringkan begitu saja lalu ditumpuk di kandang. Setelah diajari oleh Suparto, mereka bisa mengubah jerami itu menjadi silase, pakan sapi yang lebih bergizi dan tahan lama lewat proses fermentasi.
Para buruh tani ini sebelumnya bekerja sendiri-sendiri. Tiap orang memelihara beberapa ekor sapi di kandangnya masing-masing. Suparto kemudian mengenalkan sistem kandang kelompok pada mereka. Para peternak itu dibagi ke dalam tujuh kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 20 orang. Satu kelompok itu memiliki satu kandang bersama. Mereka secara bergiliran merawat ternak di kandang kelompok itu. Sistem piket ini membuat mereka bekerja lebih efisien. Selain mereka bisa berhemat waktu dan tenaga, ternak juga lebih mudah ditangani.
Setelah dua tahun program SMD berjalan, jumlah sapi mencapai 215 ekor dari modal semula yang hanya 37 ekor. Aset terakhir ini bernilai sekitar Rp 1,5 miliar. Sekarang hasil usaha ternak sapi ini bisa dinikmati oleh 140 orang anggota.
Sebagian besar warga yang dulu biasanya hanya menjadi buruh ternak, kini telah menjadi peternak mandiri. Bahkan, sebagian anggota kelompok tani ternak ini berasal dari desa-desa sekitar, tak hanya dari Desa Gunungrejo. Mereka telah membuktikan sendiri bahwa peternakan yang dikelola dengan sentuhan teknologi memang memberikan hasil lebih baik daripada cara lama yang mereka praktikkan selama ini.
Tantangan pertama: orang desa
Seperti lazimnya kebanyakan wirausahawan, Suparto menuturkan, banyak cerita tidak enak di belakang keberhasilannya. Itu sudah merupakan konsekuensi dari pilihannya menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Tahun 2003 misalnya, usahanya pernah rugi cukup banyak akibat kasus flu burung.
Namun, dari sekian banyak hambatan, kata Suparto, yang paling sulit dihadapi adalah pandangan kolot warga desa. Maklum, mereka sudah turun-temurun terbiasa beternak secara tradisional dan mereka menganggap cara itu baik-baik saja. Ketika Suparto hendak memperkenalkan sistem peternakan modern dengan sentuhan teknologi, mereka tidak mudah dibuat percaya.
Niat baik saja tak cukup. Bahkan gelar dokter hewan yang disandang Suparto pun tidak cukup ampuh untuk membuat mereka langsung percaya. Biasanya mereka ingin melihat bukti lebih dulu. Itu berarti Suparto harus bekerja sendiri dulu sampai hasilnya kelihatan jelas, baru mereka mau percaya.
Tantangan kedua yang paling sulit dihadapai adalah masalah penjualan produk akhir, terutama untuk sapi potong. Menurut Suparto, idealnya harga sapi potong di tingkat peternak adalah sekitar Rp 24.000,- sampai Rp 25.000,-/kg berat badan hidup. Namun, kisaran harga sapi potong lokal ini sering kali anjlok akibat kebijakan instan impor sapi potong dari Australia.
Harga sapi potong asal Australia memang bisa lebih murah karena sistem peternakan di sana sudah lebih modern dan efisien, dengan subsidi dari pemerintah. Tapi kebijakan impor ini secara langsung merugikan peternak lokal. "Sapi impor mungkin hanya akan memberi keuntungan bagi beberapa pengusaha besar. Tapi sapi lokal bisa menjadi penghidupan bagi ribuan peternak di desa-desa, selain bisa menghemat devisa negara," katanya.
Meski harus menghadapi hambatan-hambatan ini, Suparto menegaskan bahwa membangun usaha di desa tetap peluang yang sangat menjanjikan. "Di desa masih banyak peluang yang belum digarap," katanya dengan yakin. Kalau potensi itu bisa digarap dengan baik, warga desa tak perlu bekerja sebagai buruh di kota atau di luar negeri.
Apalagi saat ini pemerintah juga memberi kemudahan permodalan lewat berbagai bentuk kredit lunak atau hibah bersyarat, seperti yang dikelola oleh Suparto. Selain mendapatkan dana SMD, Gunungrejo Makmur juga memperoleh pinjaman lunak Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) sebesar Rp 750 juta.
Dalam pandangannya, mudik untuk membangun desa mestinya menjadi kesadaran di kalangan sarjana asal dusun sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Lulusan perguruan tinggi mestinya sudah punya kemampuan menggali potensi desa. Pilihan usaha di desa juga tak hanya peternakan. Apalagi tahun depan Kementerian Pertanian akan memperluas cakupan usaha SMD tidak hanya ternak tapi juga komoditas yang lain. Jadi, tak ada lagi alasan klise takut berwirausaha karena tidak punya modal. (Intisari/Emshol)

Author : Agus Surono