Senin, 12 November 2012

MENCERMATI RAGAM AYAM POTONG

Orang sering kali menggolongkan ayam potong menjadi dua, ayam broiler dan ayam kampung. Padahal, di pasaran banyak jenis ayam potong yang ditawarkan. Di antara jenis-jenis itu ada yang berpenampilan mirip, padahal berbeda. Kalau tidak jeli, bisa-bisa salah pilih.
Kalau saja termasuk penggemar belanja di pasar swalayan, Anda tentu akan melihat semakin ramainya jenis ayam potong yang ditawarkan. Semula yang ditawarkan ayam ras, belakangan ayam kampung pun ikut serta hadir di pasar ber-AC ini. Bahkan jangan terkejut, bila tampil pula daging ayam yang hitam legam.
Ayam potong tadi memiliki keragaman usia. Ada yang umurnya cuma 45 hari, ada pula yang sudah lansia dengan umur sampai 720 hari. Namun, jangan kaget bila bobotnya sama saja.
Nah, supaya tidak salah pilih ada baiknya mengenali dulu jenis ayam potong yang ditawarkan. Masing-masing, tentu saja, memiliki ciri-ciri, keunggulan, dan kegunaan berbeda.
Penghuni “hotel berbintang”
Di antara berbagai jenis ayam potong ayam broiler memang paling populer. Sesuai sebutannya, broiler, ayam ini khusus untuk dipanggang. Yang terjadi kemudian, jenis ayam potong ini sering juga digoreng atau malah disop. Padahal, cara memasak itu kurang tepat. Kalau disop misalnya, aroma lemaknya yang sangat keras mengalahkan aroma bumbunya. Terkadang bau ini tidak menyenangkan.
Broiler selalu ditawarkan dalam bentuk karkas, yakni ayam yang telah disembelih dan dibului, tanpa kaki, leher, kepala dan jeroan. Dia tidak pernah ditawarkan dalam bentuk hidup. Soalnya, jenis ini termasuk ayam yang mudah loyo dan mati.
Ayam broiler merupakan hasil rekayasa genetika dengan cara menyilangkan sanak saudara. Mula-mula sekelompok ayam dalam satu keluarga dikawinkan. Keturunannya dipilih yang tumbuh cepat. Di antara mereka disilangkan kembali. Keturunannya diseleksi lagi yang cepat tumbuh dan dikawinkan sesamanya. Demikian seterusnya hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh yang disebut broiler tadi. Ayam ini mampu membentuk 1 kg daging atau lebih cuma dalam tempo 30 hari.
Biasanya ayam broiler dipanen setelah umurnya mencapai 45 hari. Bobot badan ayam seusia itu 1,5 – 2,5 kg. Bandingkan dengan ayam kampung yang pada umur sama bobotnya cuma 200 g. Si cepat tumbuh ini tak pernah dipelihara lebih dari 60 hari. Pasalnya, setelah itu dia sudah tak efisien lagi membentuk daging. Kalau diteruskan, keuntungan peternaknya malah turun.
Karena masih muda, dagingnya sangat empuk. Bahkan, tulang-tulangnya pun mudah hancur bila digigit.
Selama dipelihara, dia dilayani bak tamu hotel berbintang lima. Pakan dan minumnya dikirim langsung ke kamar yang berisi ratusan ekor. Sementara, dia cuma makan tidur-makan tidur. Dengan cara begitu, dia bisa tumbuh secara efisien karena pakannya sebagian besar untuk membentuk daging dan sedikit sekali digunakan untuk bergerak.
Jadi, tidak benar anggapan broiler digemukkan secara paksa dengan memberinya hormon atau zat perangsang. Yang perlu diwaspadai justru kemungkinan adanya residu antibiotik dalam daging broiler. Ayam macam begini biasanya dihasilkan peternak nakal atau tak mau tahu, yang memberinya antibiotik berlebihan dan tidak dihentikan beberapa hari sebelum dipanen.
Seharusnya, antibiotik boleh diberikan dalam jumlah terbatas untuk merangsang pertumbuhan dan mencegah penyakit. Untuk menghindari mendapatkan daging broiler beresidu antibiotik, perlu dipertimbangkan untuk berbelanja di pasar swalayan yang dapat menjamin produknya tidak tercemar.
Ayam kampung naik gengsi
Kekhawatiran orang akan adanya residu antibiotik, hormon, atau bahan kimia dalam tubuh ayam broiler tercermin dari semakin menurunnya konsumsi daging broiler per kapita di seluruh dunia. Sebaliknya, popularitas ayam kampung atau buras (bukan ras) jadi meningkat. Pasalnya, jenis ayam kampung dipercaya dipelihara secara alami. Ini tentu cocok bagi mereka yang ingin bergaya hidup alami dengan mengkonsumsi bahan pangan alami.
Ayam kampung ini pun berhasil menerobos monopoli broiler di pasar swalayan. Kemasannya dibuat sama cantiknya dengan kemasan broiler. Bedanya, karkas ayam buras terlihat lebih kurus, dagingnya lebih tipis, dan bobotnya kurang dari 1 kg. Penawaran karkas ayam buras juga dilengkapi dengan leher, kepala, dan kakinya. Kadang-kadang juga disertakan jeroannya. Gara-gara perbedaan cara penawaran ini, dugaan orang akan adanya kandungan hormon, yang membuat orang mandul, pada kepala broiler semakin kuat. Padahal itu tidak benar. Penawaran karkas broiler tanpa kepala sebenarnya menyesuaikan dengan standar internasional, karena kebanyakan orang modern enggan makan kepala ayam. Apalagi, jeroan atau cekernya. Sementara, penawaran karkas ayam kampung disesuaikan dengan selera orang Indonesia yang kebanyakan gemar makan kepala dan kaki ayam.
Sayangnya, ayam kampung ditawarkan dengan harga lebih mahal ketimbang ayam broiler, meskipun biaya pemeliharaannya tak semahal ayam broiler. Ini gara-gara dulunya, saat ayam broiler belum ngepop, makan ayam merupakan gaya hidup orang kaya (terutama) di daerah urban. Sedangkan untuk membawa unggas pribumi penghasil daging ini dari desa ke kota bukanlah pekerjaan gampang. Risiko kematian atau sakit di perjalanan cukup besar. Untuk menanggung risiko akibat mati atau sakit itu, harga jualnya jadi mahal. Ini berlangsung terus hingga sekarang.
Ayam buras yang digemari umumnya berumur 4 – 6 bulan dengan bobot karkas 0,7 – 1 kg. Pada umur itu dagingnya masih lunak dan tulangnya manis. Aromanya tidak merangsang dan rasanya sangat gurih. Ayam ini cocok untuk segala macam masakan, baik untuk digoreng, disop atau digulai.
Di antara ayam buras, ada satu jenis ayam buras yang “aneh”. Ayam Cemani namanya. Namun, penjualan karkas ayam ini masih sangat sedikit. Tak semua pasar swalayan menyediakannya. Ini lantaran, daging ayam Cemani masih belum biasa dihidangkan sebagai lauk. Seorang petugas pasar swalayan terkemuka menjelaskan, penjualan daging ayam Cemani semata-mata untuk tujuan pengobatan asma. Soal kebenaran khasiat tersebut, masih perlu penelitian.
Ayam ini memiliki ciri warna serba hitam. Dari bulu, kulit, kaki, dan daging. Bahkan, darahnya pun berwarna hitam. Karena itulah, ayam ini dianggap banyak orang mengandung mistik.
Ayam potong yang petelur
Ayam potong lainnya yang cukup umum dipasarkan dan nomor tiga terkenal setelah broiler dan buras adalah ayam petelur apkir. Kelompok ayam ras ini semula mengabdi kepada manusia sebagai penghasil telur yang biasa diceplok mata sapi atau didadar. Setelah 12 – 18 bulan menjalankan tugas dan produktivitasnya mulai menurun, mereka memasuki masa purnabakti. Pada masa pensiun itu mereka dikaryakan lagi oleh peternaknya sebagai ayam potong. Akhirnya, setelah masuk ke markas besar penjagal ayam, predikat mereka menjadi purnawirawati dan jasad mereka jadi hidangan meja makan.
Bentuk badan ayam kelompok ini segi tiga. Bagian perutnya besar dan penuh lemak. Kulit dan kakinya kuning. Warna ini menandakan dagingnya manis. Karenanya, pedagang yang pintar sering mewarnai karkas yang berwarna pucat atau putih dengan cairan kunyit atau pewarna makanan agar calon pembeli tertarik. Tapi rasa dagingnya tetap saja hambar.
Daging pensiunan ayam petelur ini mirip dengan ayam kampung berumur 4 bulan. Cukup liat. Namun, tak terlalu alot, karena meski tua selama hidup ayam ini selalu terkurung dalam kandang berukuran 60 x 30 cm, sehingga geraknya amat sedikit. Lemaknya beraroma cukup merangsang. Tulangnya keras dan kaya sumsum.
Karkas mantan petelur ini cocok untuk disop atau digoreng. Namun, kalau mau digoreng, sebaiknya direbus dulu supaya lebih empuk.
Tentu saja, pensiunan ayam petelur tadi berjenis kelamin betina. Dalam perjalanan hidupnya, ayam petelur biasanya dipilah-pilah antara yang jantan dan betina ketika baru menetas. Tentu saja yang betina dipilih untuk dipelihara menjadi petelur, sebelum akhirnya dikaryakan sebagai pedaging. Lalu, yang jantan? Di Indonesia umumnya ayam petelur jantan tetap dipelihara dan dipromosikan sebagai ayam potong yang bukan pedaging. Di luar negeri anak ayam petelur jantan dibunuh dan diolah menjadi tepung pakan ternak.
Ayam petelur jantan ini biasanya dipelihara hingga cukup besar, cukup untuk menghasilkan karkas 600 – 700 gr. Karkasnya memang tak semontok karkas broiler. Ia lebih mirip ayam buras. Apalagi kalau sudah digoreng atau dimasak dengan cara lain.
Sayangnya, pasar swalayan masih enggan menawarkan karkas petelur jantan, karena masih belum umum. Lagi pula harganya relatif murah. Yang biasa menginginkan karkas ini biasanya pengusaha restoran yang enggan membeli ayam buras lantaran mahal.