Intisari-Online.com
- Orang desa jadi sarjana tidak luar biasa. Tapi sarjana asal desa yang
pulang kampung dan sukses membangun desanya bisa dibilang langka.
Suparto, dokter hewan asal Lamongan, Jawa Timur, salah satunya. Dengan
ilmu yang ia peroleh dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga, Surabaya, ia mengubah desanya yang miskin menjadi desa
peternakan yang makmur.
Seperti kebanyakan pemuda asal kampung, Suparto menyelesaikan
pendidikannya dalam kondisi ekonomi sulit. Orangtuanya hanya buruh tani
dan buruh ternak di Desa Gunungrejo, Kedungpring, Lamongan. Kebanyakan
pemuda kampung seusianya hanya berijazah SD, paling tinggi SMA. Untuk
membiayai pendidikannya di SMA, ia mencari uang sendiri dengan
berjualan roti keliling.
Waktu kuliah, ia berjualan pakan ternak. Maka begitu lulus kuliah,
ia bisa merasakan betapa gelar sarjana memang masih sangat mahal bagi
kebanyakan orang seperti dirinya.
Menyandang predikat lulusan terbaik tingkat fakultas tahun 2000, ia
sempat bekerja di perusahaan peternakan Charoen Pokphand Indonesia.
Tapi ia membatasi diri bekerja sebagai pegawai hanya untuk mencari
modal dan pengalaman nyata usaha peternakan. Setahun bekerja di sana,
ia kemudian mengundurkan diri untuk kembali ke desanya. Keputusan ini
berlawanan dengan kebanyakan kawan-kawannya yang lebih memilih bekerja
sebagai pegawai perusahaan.
Dengan modal Rp 25 juta yang ia sisihkan dari gaji selama setahun,
ia memulai usaha peternakan ayam petelur di desanya tahun 2001. Tak
mudah memulai usaha ini. Bukan karena ia malu berkalang kotoran ternak,
tapi karena ia harus menerima kenyataan dicemooh warga desa yang ia
ingin bangun, "Jauh-jauh kuliah ke Surabaya dengan biaya jutaan rupiah
kok malah pulang ke desa memelihara ayam." Keluarganya bahkan sempat
malu dengan keputusannya keluar dari pekerjaannya untuk pulang ke desa.
"Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau hanya untuk beternak ayam di
desa," kata mereka.
Tapi ia bersikukuh dengan pendiriannya. Ejekan orang kampung itu ia
anggap sebagai tantangan untuk membuktikan bahwa pilihannya memang
tidak salah. "Saya ingin membuktikan bahwa peternakan itu berbeda kalau
dikelola oleh orang yang punya ilmunya," katanya. Dengan kerja keras,
ia berhasil membuktikan itu. Dalam tempo satu tahun, ia sudah bisa
menunjukkan bahwa usaha ternak ayam bisa menghasilkan banyak keuntungan.
Tahun 2002, warga desa mulai melirik usaha ini. Suparto lalu
mengajari mereka cara beternak sekaligus menampung dan menjual produksi
telur lewat sistem koperasi. Ia bertindak sebagai konsultan tanpa
bayaran bagi para warga peternak yang kemudian ia beri nama Kelompok
Tani Ternak Gunungrejo Makmur.
Yang lucu, mereka yang awalnya mencemooh usaha itu, akhirnya malah
ikut bergabung karena memang usaha itu terbukti bisa memberikan
penghasilan cukup banyak. Tahun 2008, jumlah populasi ayam petelur di
kampungnya mencapai 150 ribu ekor dengan anggota kelompok sekitar
100-an orang.
Di tahun 2008 itu, ketika usaha ternak ayam makin maju, Suparto
memperoleh informasi program Sarjana Membangun Desa (SMD) yang diadakan
oleh Ditjen Peternakan, Kementerian Pertanian. Dengan modal pengalaman
sebagai peternak ayam yang berhasil, ia mengikuti seleksi SMD.
Setelah dinyatakan lolos, ia memperoleh hibah bersyarat dari Ditjen
Peternakan sebesar Rp 363 juta untuk mengembangkan kelompok ternak sapi
potong di desanya. Dengan modal awal 37 ekor sapi, ia mengajak para
warga desa yang biasanya menjadi buruh ternak untuk bergabung dalam
Kelompok Tani Ternak Gunungrejo Makmur II.
Dikenalkan pada teknologi
Sebelum adanya kelompok itu, kebanyakan warga desa biasanya menjadi
buruh ternak dengan sistem "gado". Mereka memelihara beberapa ekor sapi
milik juragan. Sebagai imbal baliknya, mereka mendapatkan bagi hasil
sebesar 50% dari harga jual sapi. Dengan sistem baru di kelompok
Gunungrejo Makmur II, mereka memperoleh bagi hasil lebih tinggi, yakni
sebesar 70%.
Dalam sistem gado, mereka biasanya hanya memperoleh penghasilan
rata-rata Rp 200.000/bulan. Tapi sejak bergabung dengan kelompok binaan
itu, mereka bisa memperoleh penghasilan rata-rata Rp 1 juta sebulan.
Ini jelas peningkatan penghasilan yang signifikan bagi orang-orang
kampung yang tak punya modal sama sekali. Apalagi mereka juga masih
bisa melakukan pekerjaan lain selain beternak.
Lewat program SMD ini Suparto bertindak sebagai pembimbing, mulai
dari hulu sampai hilir. Mulai dari cara memelihara sapi sampai
menjualnya. Secara tradisional biasanya warga desa menjual sapi ke
blantik (makelar). Cara penjualan seperti ini masih jamak kita temui di
desa-desa. Lewat kelompok Gunungrejo Makmur II, mereka menjual sapi
langsung ke Rumah Potong Hewan (RPH), tidak lagi lewat makelar. Karena
rantai penjualan diperpendek, keuntungan mereka pun otomatis lebih
besar.
Dulu mereka tidak pernah berpikir untuk memanfaatkan limbah ternak
seperti urine dan kotoran sapi. Setelah mengenal teknologi yang dibawa
oleh Suparto, mereka kini bisa mengubah urine sapi menjadi pupuk cair
serta memanfaatkan kotoran sapi sebagai sumber biogas dan kompos.
Sebelum mengenal teknologi peternakan, mereka membakar begitu saja
jerami sisa panen padi. Kalaupun digunakan untuk pakan sapi, jerami itu
biasanya hanya dikeringkan begitu saja lalu ditumpuk di kandang.
Setelah diajari oleh Suparto, mereka bisa mengubah jerami itu menjadi
silase, pakan sapi yang lebih bergizi dan tahan lama lewat proses
fermentasi.
Para buruh tani ini sebelumnya bekerja sendiri-sendiri. Tiap orang
memelihara beberapa ekor sapi di kandangnya masing-masing. Suparto
kemudian mengenalkan sistem kandang kelompok pada mereka. Para peternak
itu dibagi ke dalam tujuh kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas
20 orang. Satu kelompok itu memiliki satu kandang bersama. Mereka
secara bergiliran merawat ternak di kandang kelompok itu. Sistem piket
ini membuat mereka bekerja lebih efisien. Selain mereka bisa berhemat
waktu dan tenaga, ternak juga lebih mudah ditangani.
Setelah dua tahun program SMD berjalan, jumlah sapi mencapai 215
ekor dari modal semula yang hanya 37 ekor. Aset terakhir ini bernilai
sekitar Rp 1,5 miliar. Sekarang hasil usaha ternak sapi ini bisa
dinikmati oleh 140 orang anggota.
Sebagian besar warga yang dulu biasanya hanya menjadi buruh ternak,
kini telah menjadi peternak mandiri. Bahkan, sebagian anggota kelompok
tani ternak ini berasal dari desa-desa sekitar, tak hanya dari Desa
Gunungrejo. Mereka telah membuktikan sendiri bahwa peternakan yang
dikelola dengan sentuhan teknologi memang memberikan hasil lebih baik
daripada cara lama yang mereka praktikkan selama ini.
Tantangan pertama: orang desa
Seperti lazimnya kebanyakan wirausahawan, Suparto menuturkan, banyak
cerita tidak enak di belakang keberhasilannya. Itu sudah merupakan
konsekuensi dari pilihannya menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.
Tahun 2003 misalnya, usahanya pernah rugi cukup banyak akibat kasus flu
burung.
Namun, dari sekian banyak hambatan, kata Suparto, yang paling sulit
dihadapi adalah pandangan kolot warga desa. Maklum, mereka sudah
turun-temurun terbiasa beternak secara tradisional dan mereka
menganggap cara itu baik-baik saja. Ketika Suparto hendak
memperkenalkan sistem peternakan modern dengan sentuhan teknologi,
mereka tidak mudah dibuat percaya.
Niat baik saja tak cukup. Bahkan gelar dokter hewan yang disandang
Suparto pun tidak cukup ampuh untuk membuat mereka langsung percaya.
Biasanya mereka ingin melihat bukti lebih dulu. Itu berarti Suparto
harus bekerja sendiri dulu sampai hasilnya kelihatan jelas, baru mereka
mau percaya.
Tantangan kedua yang paling sulit dihadapai adalah masalah penjualan
produk akhir, terutama untuk sapi potong. Menurut Suparto, idealnya
harga sapi potong di tingkat peternak adalah sekitar Rp 24.000,- sampai
Rp 25.000,-/kg berat badan hidup. Namun, kisaran harga sapi potong
lokal ini sering kali anjlok akibat kebijakan instan impor sapi potong
dari Australia.
Harga sapi potong asal Australia memang bisa lebih murah karena
sistem peternakan di sana sudah lebih modern dan efisien, dengan
subsidi dari pemerintah. Tapi kebijakan impor ini secara langsung
merugikan peternak lokal. "Sapi impor mungkin hanya akan memberi
keuntungan bagi beberapa pengusaha besar. Tapi sapi lokal bisa menjadi
penghidupan bagi ribuan peternak di desa-desa, selain bisa menghemat
devisa negara," katanya.
Meski harus menghadapi hambatan-hambatan ini, Suparto menegaskan
bahwa membangun usaha di desa tetap peluang yang sangat menjanjikan.
"Di desa masih banyak peluang yang belum digarap," katanya dengan
yakin. Kalau potensi itu bisa digarap dengan baik, warga desa tak perlu
bekerja sebagai buruh di kota atau di luar negeri.
Apalagi saat ini pemerintah juga memberi kemudahan permodalan lewat
berbagai bentuk kredit lunak atau hibah bersyarat, seperti yang
dikelola oleh Suparto. Selain mendapatkan dana SMD, Gunungrejo Makmur
juga memperoleh pinjaman lunak Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS)
sebesar Rp 750 juta.
Dalam pandangannya, mudik untuk membangun desa mestinya menjadi
kesadaran di kalangan sarjana asal dusun sebagai bentuk tanggung jawab
sosial. Lulusan perguruan tinggi mestinya sudah punya kemampuan
menggali potensi desa. Pilihan usaha di desa juga tak hanya peternakan.
Apalagi tahun depan Kementerian Pertanian akan memperluas cakupan usaha
SMD tidak hanya ternak tapi juga komoditas yang lain. Jadi, tak ada
lagi alasan klise takut berwirausaha karena tidak punya modal. (Intisari/Emshol)
Author : Agus Surono