Nasib peternak sapi perah di ujung tanduk. Sejak lima bulan terakhir industri pengolah susu telah menurunkan harga pembelian susu Rp350 per liter.Alasannya,harga susu di pasar dunia turun.
Industri pengolah susu beralasan, penurunan harga ini akan membuat harga jual susu di tingkat konsumen menurun. Sebagai wasit yang berdiri di tengah, pemerintah berkewajiban menjaga harga keseimbangan. Per 1 Juni 2009 ditetapkan bea masuk impor 5%. Masalahnya, besaran bea masuk itu tidak akan mampu mengompensasi penurunan harga yang dilakukan industri pengolah susu.
Peternak sapi perah terancam bangkrut. Janji harga jual susu di tingkat konsumen turun tidak terbukti. Silang-sengkarut industri persusuan tidak lepas dari desain kebijakan persusuan yang liberal. Asal-muasal liberalisasi dimulai tahun 1998. Ketika Indonesia mengundang kembali Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai dokter penyembuh krisis moneter, Indonesia harus menandatangani letter of intent (LoI). Di situ harga bea masuk impor susu yang semula 30% dihapuskan. Kewajiban industri pengolah susu untuk menyerap susu peternak domestik pun ditiadakan. Peternak sapi perah kehilangan pembeli. Peternak kecil, mayoritas pemelihara sapi perah, harus bertarung dengan susu impor yang penuh subsidi.
Sampai sekarang Uni Eropa masih memberikan subsidi sebesar USD2 per hari per ekor sapi kepada peternak sapinya.Padahal, Uni Eropa merupakan eksportir terbesar skimmed-milk powder. Dengan subsidi yang besar itulah eksportir bisa menjual susu dengan harga murah (dumping).
Uni Eropa mengekspor susu dengan harga hanya separo dari harga pokok produksi.Akibatnya, harga jual komoditas di pasar dunia tidak lagi mencerminkan efisiensi dan daya saing. Menjadikan harga komoditas di pasar dunia sebagai referensi dan cermin daya saing serta efisiensi jelas keliru,bahkan menyesatkan.
Indonesia telah meratifikasi aturan-aturan WTO di sektor pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) pada 1994. Berdasarkan notifikasi yang dicatatkan di WTO, Indonesia sebenarnya
memiliki ruang manuver yang luas untuk menyiasati liberalisasi di bidang persusuan. Khusus untuk tarif, Indonesia mencatatkan bound tariff antara 40–210%. Namun sejak 1998 paling besar Indonesia hanya mematok tarif bea masuk impor 5%.
Ironis memang. Padahal, sejak 2005 Indonesia sudah tidak lagi dalam supervisi IMF. Di sisi lain, Indonesia juga begitu agresif dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas bilateral, termasuk di sektor persusuan. Pada Agustus 2008, Indonesia meneken perjanjian perdagangan bebas negara-negara ASEAN,Australia, dan Selandia Baru (AANZ FTA).
Lewat perjanjian itu Indonesia tidak dikenai bea masuk barang ke Australia dan Selandia Baru. Sebaliknya, Indonesia harus membuka pintu terhadap barang dari Australia dan Selandia Baru seperti susu. Sebagai implementasi AANZ FTA itu, 13 Februari 2009, Menteri Keuangan mengeluarkan PP No 19/2009 tentang bea masuk impor produk tertentu. Di situ bea masuk skim milk powder, full cream milk, yoghurt, dan buttermilkdipatok 0%. Aneka
perjanjian bilateral semacam ini, yang dalam literatur ekonomi internasional disebut regionalisme,sering menimbulkan masalah. Sebab, perundingan bilateral cuma dikawal Departemen Perdagangan. Departemen teknis tak terlibat.
Masalah muncul setelah beleid diimplementasikan karena perjanjian bilateral sering punya implikasi serius pada kelompok- kelompok marginal: petani, peternak, pekebun, kaum miskin kota, buruh, atau nelayan. Berbeda dengan perundingan WTO yang ada sekretariat tetap dan dikawal tim interdepartemen, perundingan bilateral bersifat ad hoc, bongkar pasang,dan tak ada sekretariat tetap.Akibatnya, aneka perjanjian bilateral kurang dikaji mendalam berikut implikasi-implikasinya. Ini pula yang terjadi dalam perjanjian bilateral persusuan.
Sejak usaha sapi perah dikembangkan pertama kali tahun 1979, sampai sekarang ciri-cirinya tidak banyak berubah: sapi perah diusahakan oleh peternakan rakyat berbasis usaha keluarga dengan skala usaha kecil-kecil (1–4 ekor sapi per peternak).
Tak aneh bila manajemen dan teknologi pemeliharaannya juga sederhana. Ini punya implikasi pada produktivitas: rata-rata 10 liter/laktasi/hari (jauh dari produksi susu di negara lain yang mencapai 30 liter/ laktasi/hari). Produktivitas yang rendah dan tidak kondusifnya iklim usaha di dalam negeri membuat populasi sapi perah tidak memadai.
Saat ini populasi sapi perah di dalam negeri diperkirakan tak lebih 1 juta ekor,65% di antaranya betina. Ujung dari semua itu,produksi susu domestik amat rendah. Produksi susu dalam negeri hanya 1,2 juta liter/tahun dan hanya memberikan kontribusi 20% kebutuhan susu nasional.
Sisanya diimpor.
Ketergantungan pasokan susu domestik atas susu impor itu sudah berlangsung puluhan tahun dan belum terpecahkan sampai sekarang. Di sisi lain,industri pengolah susu menyerap lebih 90% produksi susu peternak. Hanya 5% produk susu segar yang langsung diserap masyarakat. Dampak dari kondisi ini peternak susu amat tergantung pada industri pengolah susu.
Padahal, industri pengolah susu domestik hanya ada enam buah.Ini membuat pasar susu segar bersifat monopsoni. Harga susu segar dari peternak dan harga akhir di konsumen sepenuhnya berada di tangan industri pengolah susu. Jadi, industri pengolah susu memeras dua pihak (double sequeezing): peternak sapi dan konsumen. Ini yang membuat industri pengolah susu untung besar.
Kondisi ini tidak bisa dibiarkan.Karena peternak sapi perah akan tidak bergairah berusaha dan konsumen terus tersandera oleh harga susu yang mahal.Akibatnya, harga susu tak terjangkau konsumen. Saat ini harga jual susu di tingkat peternak Rp3.700 per liter,sedangkan harga di supermarket sampai Rp12.000 per liter.
Inilah yang membuat konsumsi susu di Indonesia masih rendah (7,7 liter/ kapita/ tahun), jauh di bawah tingkat konsumsi Vietnam (8,5), Filipina (11), Thailand (25,1)l, dan India (44,9).Padahal, susu amat penting bagi asupan gizi tubuh.Menggalakkan minum susu, terutama untuk anak-anak, penting guna memperbaiki kualitas SDM.
Ini penting sebagai investasi masa depan. Dibandingkan negara lain, kualitas SDM kita jauh tertinggal. Menurut laporan UNDP (2006), peringkat Human Development Index(HDI) Indonesia berada pada posisi 108 dari 177 negara,111 dari 177 negara (2005), 111 dari 177 negara (2004), dan 112 dari 175 negara (2003). Posisi ini nyaris tidak bergerak, jauh tertinggal dari Malaysia (59),Thailand (76), dan Filipina (83).
Ironis, untuk bersaing di tingkat Asia saja kita semakin uzur dan tak berdaya. Perbaikan SDM harus dilakukan dengan investasi di bidang gizi, kesehatan, dan pendidikan. Di bidang gizi, salah satunya bisa ditempuh dengan memberi susu gratis atau bersubsidi pada siswa usia sekolah yang amat membutuhkan asupan gizi.
Harus ada program untuk merevolusi sistem produksi dan distribusi susu agar anak mendapat asupan gizi yang berkualitas untuk mendukung kecerdasan dan pertumbuhan. Lewat program ini susu sekolah akan digalakkan sehingga siswa dapat menikmati minuman bergizi untuk kelengkapan empat sehat lima sempurna.
Selama ini, pemerintah hanya fokus pada perbaikan gizi balita dan ibu hamil. Program gizi untuk murid sekolah terabaikan. Padahal, pertumbuhan fisik berlangsung terus sampai usia anak 18 tahun. Di sisi lain, program revolusi susu akan membuka pasar baru bagi peternak sapi perah.Ini bisa jadi pasar alternatif. Jadi, dengan revolusi susu kualitas SDM bisa didongkrak dan pasar peternak sapi perah terjamin.
Sumber : Dedy Winarto, Alumnus Fakultas Peternakan Undip.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar